Let's find out!!!

Sabtu, 14 November 2009

tugas cerpene bu Rahardini

Baju Lebaran Untuk Wira

Panas hari ini benar-benar ingin menguji imanku rupanya. Rasanya seperti belum pernah sekalipun tenggorokan ini dialiri air. Kering. Tapi aku tetap akan berpuasa, tak peduli betapa panasnya. Ini hari pertama di tahun ini.
“Assalamualaikum, ” setengah berteriak aku memasuki rumah nenek Komang.
Sepi, seperti biasa. Aku melangkah memasuki ruang tamu, tapi jangan bayangkan kau akan menemukan meja kursi kayu atau vas bunga cantik. Ini hanyalah ruangan sempit beralaskan tikar anyam yang kebetulan ada di bagian depan rumah. Tak ada seorang pun. Sayup-sayup terdengar lantunan Alquran yang dibaca terbata-bata. Terdengar dari kamar nenek Komang yang hanya beberapa langkah dari tempatku berdiri. Perlahan kutengok ke dalam kamar nenek Komang. Terlihat Wira—adikku—sedang mengeja huruf-huruf hijaiyah dengan teliti. Beberapa titik peluh keringat muncul di atas hidung peseknya. Dengan sabar nenek Komang menuntunnya.
”Assalamu’alaikum Nek,” ulangku. Sambil tersenyum, aku mencium tangan nenek Komang yang kulihat semakin hari semakin keriput saja.
“Wa’alaikum salam, ” sambut nenek Komang hangat.
”Kak Astuti, aku sudah bisa baca Quran nih,” celoteh Wira girang.
Sambil tersenyum aku mengangguk mengiyakan. Nenek Komang memang sudah seperti nenek kami sendiri. Tiap hari sebelum aku berangkat ke sekolah, aku selalu menitipkan Wira ke nenek Komang. Karena tak mungkin aku meninggalkan Wira yang masih enam tahun itu sendirian di rumah. Ibuku sudah meninggal sesaat setelah melahirkan Wira. Dan tanpa disangka ayahku menyusulnya setelah menyelamatkan Wira saat api melahap separuh dari pemukiman ini 3 tahun lalu. Mungkin terdengar sangat menyedihkan bagimu dan bagiku di kala itu, tapi yakinlah hari ini aku merasa baik-baik saja. Aku merasa cukup dengan adanya Wira yang lucu, uang BOS yang menanggung biaya sekolah dasarku, upah mencuci di rumah tetangga untuk makan walau kadang hanya dua kali sehari dan tentunya karena ada nenek Komang. Dari nenek Komang aku mendapatkan banyak hal. Semangatnya menjalani hidup, kejujurannya, kesabarannya, kebaikan hatinya, ketulusannya, semuanya dia ajarkan kepadaku.
“Kak Astuti, Lebarannya kurang berapa hari, Kak? ” Wira membuyarkan lamunanku.
Aku dan nenek Komang tertawa mendengar pertanyaan Wira.
”Wira sayang, kita baru mulai berpuasa hari ini. Jadi Lebarannya masih sebulan lagi,” jawabku.
”Jangan dihitung Nak, kita jalani saja. Semuanya akan terasa cepat nanti,” sambung nenek Komang.
”Oooo,” Wira hanya bisa membulatkan bibirnya.
”Wira ingin cepat-cepat Lebaran ya?” tanyaku.
”Iya Kak,” jawabnya sambil mengusap peluh di hidungnya.
”Kenapa?” tanya nenek Komang penasaran.
”Wira ingin punya baju baru,”.
~~~~~~~~
Hari ini hari kesebelas bulan Ramadhan. Kata-kata Wira masih terngiang-ngiang di telingaku. Keinginan Wira yang sederhana, punya baju baru. Memang kita tidak pernah punya baru yang dibeli di toko. Baju biasanya kita dapat dari beberapa penyantun atau tetangga yang membagi-bagikan baju layak pakai. Kalau beruntung kita akan mendapatkannya setahun dua kali.
Mungkin aku harus berusaha lebih keras. Tiba-tiba terlintas di benakku wajah nenek Komang. Ah, tapi tidak. Aku tidak akan meminta satu sen pun uang kepada nenek Komang. Dia sendiri hanya mengandalkan kiriman anak sebatang karanya yang merantau ke Sumatra menjadi buruh tani kelapa sawit. Dan itu pun tak seberapa.
Kebanyakan kekurangan nenek Komang ditanggung tetangga kanan kirinya. Terdengar aneh ketika aku menceritakan semua bantuan dari para tetangga kami yang baik hati. Namun itulah adanya. Tetangga kami memang benar-benar perhatian dan senang membantu. Ingatlah, ini masih di Bantul, bukan di Jakarta. Jangan terlalu takjub. Meski demikian aku juga tidak mau terlalu menggantungkan hidupku kepada mereka. Aku tak akan menjadi pengemis.
”Kak, Kak Astuti,” lagi-lagi Wira membuyarkan lamunanku.
”Eh, iya. Apa Dik?”
”Em.. kalau.. emm.. kalau Kakak.. ,” Wira terlihat ragu.
”Kalau Kakak kenapa?” tanyaku penasaran.
”Emmm.. ” Wira masih ragu.
”Tak apa Wira, katakan saja.” kataku dengan sunggingan mungil di bibirku.
”Eee.. Kalau Kakak tidak bisa belikan aku baju baru tidak apa-apa. Aku bisa pakai baju biru yang dulu punya kak Risyad,” kata Wira dengan senyumnya yang dipaksakan. Nadanya bergetar ketika dia menyebutkan kalau baju itu baju bekas dari kak Risyad, tetanggaku. Aku merasakan nyeri di ulu hati. Segera kupeluk Wira.
”Insya Allah Dik, Kakak akan belikan baju baru buat kamu,”.
Wira hanya mengangguk sambil membalas pelukanku. Dan sesaat kemudian bahuku terasa basah. Juga bahu Wira.

~~~~~~~~

Siang itu aku mendatangi rumah Pak Tiarso untuk mengambil baju kotor. Sepi. Tak ada siapa pun. Kemudian rumah Bu Joko. Sama sepinya. Mungkin baru keluar.
”Nanti sore aku akan datang lagi,” kataku dalam hati.
Aku hendak berjalan pulang. Tiba-tiba Bu Parni memanggilku.
”Nak Astuti, lagi cari Bu Joko ya?” tanyanya.
”Iya Bu, memangnya Bu Joko kemana?” tanyaku penasaran.
”Bu Joko sudah mudik Nak,”.
”Mudik kemana Bu?”.
”Ke Surabaya,”.
”Pak Tiarso?”.
”Pak Tiarso juga sudah mudik ke Purwokerto,”.
Aku baru ingat, hari ini seminggu menjelang Lebaran. Pantas saja mereka sudah mudik. Pikirku sambil melanjutkan langkah gontaiku, pulang ke rumah.
Aku menatap hasil jerih payahku, terkumpullah dua puluh tiga ribu dua ratus rupiah. Aku berpikir sejenak. Aku tidak akan mendapatkan uang tambahan lagi, semua tetangga yang memakai jasaku sudah mudik. Kuharap ini cukup.

~~~~~~~~

”Nah, Wira mau yang mana?” tanyaku sesampainya di toko baju. Toko kecil ini terlihat ramai. Tak banyak baju-baju bagus seperti yang sering aku lihat di TV, hanya baju-baju sederhana seadanya. Tak ada pendingin ruangan. Tak ada label harga di setiap barang dagangannya. Tawar menawar pun diperbolehkan.
”Yang mana ya?” Wira terlihat berkonsentrasi memilih baju barunya.
Dalam hati aku berdoa semoga uang dua puluh tiga ribu ini cukup.
”Kak, aku mau yang ini,” kata Wira sambil menunjuk baju koko hijau.
”Hmm, pandai juga dia memilih,” gumamku.
“Boleh tidak, Kak?”.
“Sebentar,” mataku berkeliling mencari pelayan toko, “Mbak, yang ini berapa?” tanyaku setengah berteriak sambil menunjuk baju koko hijau.
“Yang itu lima puluh ribu,” jawabnya sambil berteriak pula, dia sedang sibuk melayani pembeli lainnya. Aku berjalan mendekat. Kubawa baju koko hijau itu.
“Yang ini lima puluh ribu mbak?”.
“Iya,”.
“Harga pasnya berapa, Mbak?”.
“Itu empat puluh ribu,”.
“Kalau dua puluh ribu bisa tidak, Mbak?”
”Wah, belum balik modal tuh,”.
”Kalau dua puluh tiga ribu?”.
”Belum, Dik,”.
”Kalau 23.200?”
”Hahaha, apalah arti dua ratus sekarang?” jawab pelayan toko, terdengar sangat meremehkan.
”Kan bisa buat beli permen,” sahut Wira yang sedari tadi diam saja.
”Hehehe,” pelayan toko itu tertawa. Hambar.
”Ya sudah Mbak kalau tidak bisa,”.
”Mm.., kalau harga dua puluh ribuan bisa dapet kaos oblong yang itu,” kata pelayan toko sambil menunjuk kaos-kaos yang sepertinya penghuni pertama toko ini dan mungkin akan menjadi penghuni terakhir karena tidak laku-laku.
”Tidak, terima kasih,” jawabku.
Kami pun pergi meninggalkan toko itu. Aku tak menyangka harga baju semahal itu.

~~~~~~~~



“Hmm.. ke mana ya aku harus cari uang?” tanyaku dalam hati. Siang itu masih panas seperti biasa. Alhamdulillah puasaku utuh sampai hari ini. Lima hari menjelang Lebaran. Langkahku terasa berat. Tiba-tiba dari arah berlawanan beberapa warga terlihat tergesa-gesa berjalan ke arahku. Mereka semakin mendekat.
”Ada apa, Bu Parni?” tanyaku pada Bu Parni yang tak kusangka ada di antara para warga yang tergesa-gesa.
”Ini mau ke rumah juragan Wisnu, ada bagi-bagi zakat katanya,”.
”Zakat fitrah?”.
”Bukan, tapi zakat mal, setiap orang akan dapat dua puluh ribu,”.
”Dua puluh ribu?”.
”Iya, Nak, ayo ikut!”
”Mmm.. ,” aku ragu, aku memang butuh uang itu tapi aku tidak akan mengemis.
”Sudahlah, kita ini bukan mau mengemis. Tapi kita hanya meminta hak kita atas sebagian harta mereka,” jelas Bu Parni yang seakan tahu apa yang sedang aku pikirkan.
”Baiklah,” kataku kemudian.
Setelah berjalan cukup jauh, sampailah kami di rumah juragan Wisnu. Pagarnya tinggi besar seakan berusaha menutupi kemewahan yang bertabur di dalamnya. Banyak warga lain sudah berkumpul di depan pagar. Sejenak kemudian, pintu pagar dibuka. Secara spontan warga berdesakan memasuki rumah itu. Aku pun juga ikut di dalamnya.
”Bu Parni!” teriakku. Kami terpisah karena terdesak kanan kiri.
”Hati-hati, Nak, jangan..” kalimatnya terputus hiruk pikuk keramaian. Sempurna. Aku kecil, terdesak, puasa, tanpa seorang pun yang dikenal. Aku berusaha sebisa mungkin untuk tidak terjatuh. Semakin sesak saja sepertinya. Ada saja yang menginjak kakiku walaupun aku terus melangkah hati-hati. Perih.
Tiba-tiba semua diam di tempat. Sudah benar-benar penuh sepertinya. Kemudian kita hanya menunggu. Panas. Sesak. Kaki terinjak.
Terlihat olehku beberapa orang siap membagikan uang dua puluh ribuan. Rasa perih di kakiku hilang. Dalam anganku terbayang wajah ceria Wira yang sedang memakai baju koko hijau barunya.
Desakan dari arah belakang terasa semakin kuat saat uang-uang hijau itu mulai dibagikan. Aku berusaha mempertahankan posisiku. Aku tak ingin menyerah. Tinggal dua baris lagi dan aku akan mendapat uang itu. Kakiku terinjak lagi. Sepatuku sudah tak berbentuk sepertinya.
Aku sudah di barisan pertama. Ku angkat tangan kecilku tinggi-tinggi. Kurasakan uang hijau itu menyentuh ujung jariku. Namun naas, uang itu terjatuh. Dengan susah payah aku mencoba menunduk untuk mengambilnya. Di saat yang sama, pintu pagar dibuka. Banyak warga yang masih menunggu di luar rumah berlari ke arah kerumunan. Suasana tak terkendali. Kudengar teriakan orang-orang kesakitan. Aku pun terdesak. Terinjak-injak!

~~~~~~~~~

Di rumah nenek Komang.
”Nek, Kak Astuti kok belum pulang?” tanya Wira. Nenek Komang melihat jam yang terpasang di dinding reyotnya. Sudah jam tiga.
”Mungkin dia ada perlu, kita tunggu saja dulu,” nenek Komang mencoba menenangkan Wira walaupun dia sendiri merasa gelisah. Nenek Komang mencoba mengusir kegalauannya, ia menyalakan TV 14 inch-nya. Saluran berita.
Ya, dilaporkan 13 orang tewas, 10 diantaranya wanita separuh baya, 2 ibu-ibu dan 1 anak perempuan. Dan 21 orang luka-luka. Demikian kami sampaikan dari kediaman bapak Wisnu di Bantul, Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar